Ideologi: Makna, Signifikansi, dan Korelasinya terhadap Pergeseran Zaman

Valerie
4 min readMar 17, 2021

--

Ideologi dalam bangsa Indonesia telah tercermin semenjak tulisan Soekarno mengenai Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme pada tahun 1926. Ideologi pada saat itu digunakan untuk menyulut revolusi mental dalam tubuh bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai ideologi yang terdiferensiasi. Kedatangan ideologi tertentu dalam suatu bangsa bisa berkaitan dengan kultur dan sejarah negara tersebut. “Pengeratan” ideologi yang dilakukan Soekarno bertujuan salah satunya untuk membangkitkan semangat rakyat Indonesia yang sedang surut-surutnya setelah peristiwa perpecahan SI dan pemberontakan PKI tahun 1926. Mengutip pernyataan Eatwell (1999), ideologi tidak ada untuk menggabungkan masyarakat, tetapi muncul saat terjadinya pergolakan atau krisis.

Prakarsa dari kemunculan ideologi sesungguhnya berasal dari tulisan Francis Bacon. Bacon dalam bukunya, Novum Organon, (1620) mempertanyakan dan mendebatkan keberadaan Aristotelian-Christian yang mengukung era ini dengan religiusitas dan tradisi-tradisi kuno yang dipegang erat oleh pemimpin-pemimpin feodal. Bacon melihat bahwa pemahaman-pemahaman ini, seiring berjalannya dunia menuju sekularitas dan modernitas, masih tertinggal menjadi distorsi dalam pemikiran masyarakat (Eccleshall,). Kekuatan pemimpin feodal dan keberadaan institusi-institusi agama yang dominan menghadirkan keinginan masyarakat yang tidak berkuasa untuk memiliki ruang berekspresi. De Tracy, pada masa Revolusi Prancis, hadir sebagai pionir dari masa pencerahan dan perkembangan ideologi (Eatwell dan Wright, 1999). Asosiasi ideologi dengan sains kemudian dilihat oleh De Tracy sebagai hasil dari edukasi, kemudian dari edukasi tersebut menciptakan sebuah common sense yang melahirkan filosofi.

Ideologi sebagai science of ideas merupakan bentuk usaha dari para idiologues, sebagaimana kaum ideolog disebut oleh Napoleon, untuk terlepas dari belenggu institusi-institusi agama yang mendominasi pada saat itu, mejauh dari jeratan otoritarianisme agama. Upaya ini juga didasari oleh asumsi positivisme Auguste Comte, yang mendasarkan keilmuan pada sains dan fakta-fakta sejarah (Nugroho, 2016). Keberadaan ideologi membuat sistem sosial politik yang terjalin dalam masyarakat menjadi terstruktur dan tertata secara disiplin. Meskipun berpotensi untuk mengekang individu dari kebebasan untuk mengekspresikan aspirasi tertentu yang bertentangan dengan ideologi yang dianut secara luas, ideologi dalam skala individu dapat membantu pengolahan kesadaran dan cara berpikir individu secara politis.

Menurut Althusser, ideologi merupakan “semen” yang menyatukan masyarakat (dalam Eccleshall et al., 1994:6). Ideologi berasal dari kebiasaan masyarakat. Ideologi dan kebiasaan masyarakat dalam keseharian mereka membentuk sebuah kesadaran laten secara terus-menerus yang kemudian menjadikan ideologi itu sendiri sebagai dasar dan prinsip mereka dalam menjalankan hidup. Tanpa apresiasi terhadap kebudayaan dan liberalitas ide, pemikiran politis akan terbiarkan menjadi aktivitas yang akan jarang memberikan dampak minimal dalam pembentukan politik itu sendiri (Freeden dalam Eccleshall et al., 1994:9). Ideologi kemudian datang dari ide masyarakat, akibat dari liberalisasi untuk menuangkan aspirasi politik mereka. Berdasarkan dari budaya yang mereka anut pula, ideologi dapat tertanam. Apabila dibahas secara internal, kemampuan manusia untuk merefleksikan diri atas pengalaman historis yang pernah dialami juga dapat memengaruhi pola pikir dan ideologi yang ia anut. Secara eksternal, sesuai dengan keberadaan agen sosialisasi dalam ilmu Sosiologi yang “bertugas” untuk membentuk karakter individu dalam partisipasi masyarakat, Haryanto (2018) menyatakan bahwa agen sosialisasi terdiri atas keluarga, teman, lembaga pendidikan formal, dan media massa. Keempat agen sosialisasi politik ini merupakan aspek fundamental yang dapat membentuk nilai dan norma yang dipercaya oleh seorang individu. Secara kolektif, ide-ide yang tertanam ini lalu menjelma menjadi aspirasi yang kemudian akan membentuk suatu paham konkret yang terjalin antara masyarakat di dalam suatu wilayah, yaitu ideologi yang dianut dan dipercayai.

Secara kultural, ideologi di Indonesia merupakan produk dari politik etis. Sosialisasi dari lembaga pendidikan formal membawa bangsa Indonesia menjadi berpengetahuan dan kaya akan pemahaman atas ideologi-ideologi yang beragam di dalam dunia internasional. Paham-paham yang berbeda ini kemudian dimanifestasikan ke dalam pemikiran masyarakat, yang jelas tidak seragam. Pengalaman historis yang berbeda, lingkungan pertemanan, kasta sosial dan keluarga yang beragam membuat nilai dan norma yang dianut masing-masing individu terdiferensiasi satu dengan yang lain. Aspirasi-aspirasi politik kemudian dibentuk melalui organisasi-organisasi yang dibuat masyarakat untuk masyarakat pula. Proses pencerdasan bangsa menyebabkan Soekarno, salah satunya, sadar atas kekuatan ideologi untuk membangkitkan masyarakat yang sedang berada di dalam krisis revolusi; pada saat itu ketika tahun 1926, pertama kali beliau mencetuskan sebuah esai berjudul “Nasionalisme, Islamisme, Marxisme” dalam bukunya Dibawah Bendera Revolusi. Kemudian kembali ketika masa demokrasi terpimpinnya tahun 1959–1965, dengan ideologi Nasakom (Winata, 2017). Ideologi, faktanya, digunakan Soekarno untuk menaklukan cara berpikir, keyakinan, sikap, dan perilaku masyarakat Indonesia agar legitimasi dari kekuasaannya tetap bertahan sebagai rezim yang senantiasa memimpin Indonesia.

Menurut Profesor Ichlasul Amal, ketika Indonesia telah merdeka dan menerapkan Pancasila, tujuan dari ideologi ini hanyalah semata untuk menyatukan daerah-daerah yang tersebar di seluruh Nusantara. Ideologi pada zaman kontemporer bersifat pragmatis dan tidak permanen. Ideologi kontemporer seperti demokrasi dan kapitalis, menurut Eatwell dan Wright, merupakan hasil dari adaptasi dan interpretasi yang berbeda. Negara-negara kapitalis, Korea Selatan, Jepang, Amerika Serikat, dan Singapura menerapkan ideologi yang sama, tetapi berbeda dalam implementasinya. Sebanyak kita dapat melihat kebebasan pasar dalam ideologi kapitalis, sebanyak itu pula kita mungkin dapat melihat limitasi dari kebebasan dan hak dari seorang individu (Eatwell dan Wright, 1999). Cara untuk menggerakkan bangsa saat ini, menurut Prof. Ichlasul Amal, bukanlah bergantung pada ideologi, melainkan kapitalisme karena sejatinya yang dibutuhkan masyarakat global saat ini adalah pemenuhan kebutuhan, sehingga daya beli menjadi salah satu faktor paling krusial yang dapat memengaruhi mobilisasi massa pada era kontemporer ini.

Pada akhirnya, ideologi memang membentuk revolusi mental dan kebangkitan sebuah bangsa. Ideologi menjadi sebuah prinsip yang dipegang teguh, terutama ketika masa-masa pencerahan. Ideologi berhasil mengeluarkan masyarakat dari kesengsaraan pengurungan otoritarianisme agama pada masa itu. Ideologi pun, berhasil untuk memperkuat jati diri bangsa Indonesia ketika sedang berjuang melawan kolonialisme. Akan tetapi, sebaik-baiknya ideologi dan sekukuh-kukuhnya ideologi, dunia internasional kontemporer pada saat ini mulai menunjukkan pergeseran makna dan fungsi dari ideologi itu sendiri, terbukti dengan munculnya perbedaan interpretasi yang terjadi di antara demokrasi di suatu negara dan di negara yang lain, di antara kapitalisme di suatu negara dan di negara yang lain. Fokus dunia internasional seiring berjalannya zaman mulai mengubah fokusnya, demikian pula fungsi ideologi yang mengikuti perubahan zaman yang terjadi.

Daftar Referensi

Eatwell, R., & Wright, A. (Eds.). (1999). Contemporary political ideologies. A&C Black.

Eccleshall, R., Kenny, M., & Geoghegan, V. (1994). Political ideologies: an introduction. Psychology Press.

Haryanto. (2018). Sosialisasi Politik: Suatu Pemahaman Awal. Polgov.

Nugroho, I. (2016). Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis dan Nilai Etisnya Terhadap Sains. Cakrawala: Jurnal Studi Islam, 11(2), 167–177.

Soekarno, 1926. Nasionalisme, Islamisme, Marxisme. Dibawah Bendera Revolusi. Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi.

Winata, L. (2017). Nasakom Sebagai Ideologi Negara Tahun 1959–1965. Avatara, 5(3)

--

--