Paradigma Berpikir Menentukan Hasil

Valerie
2 min readSep 9, 2020

--

Selama 17 tahun hidup, jarang sekali saya dihadapi dengan ketidakpastian. Memasuki lingkungan baru, SD, langsung diterima. Berlanjut SMP, juga langsung diterima, meskipun harus mengikuti bimbingan Bahasa Mandarin yang diwajibkan bagi siswa baru yang belum memadai Bahasa Mandarinnya. Memasuki SMA pun, saya tidak diharuskan untuk mengikuti tes. Salah satu kesempatan emas bagi saya untuk merasakan yang namanya digantung oleh ketidakpastian adalah ketika saya memutuskan untuk berjuang untuk PTN.

Saya bukan orang terpintar di kelas, bukan peraih ranking teratas juga. Suatu hal yang sedikit nekat apabila saya ingin mengejar Universitas Gadjah Mada yang notabene merupakan universitas terbaik di Indonesia, terlebih jurusan saya, Hubungan Internasional, yang bisa dianggap salah satu jurusan paling bergengsi di ranah soshum.

Selama setahun ini, saya merasa tertekan. Tertekan atas mimpi yang saya pikir kurang realistis dengan kapasitas yang saya rasa saya punya. Tertekan atas ketidakpercayaan atas kemampuan yang saya miliki. Tertekan juga atas ekspektasi orang-orang di sekitar saya yang menaruh harapan besar.

“Hidup sudah ada yang mengatur.”

Kalimat ini seringkali dipakai menjadi dalih untuk tidak berusaha semaksimal mungkin untuk apa yang ingin kita capai. Memang, tidak ada yang bisa menebak hasil dari usaha kita. Ke mana kita akan dibawa nantinya. Mengambil contoh yang saya sebutkan di awal, tidak ada yang tahu apabila saya akan diterima atau ditolak pada pengumuman SBMPTN tahun ini. Namun, setidaknya, dibalik hasil yang tidak menentu, saya sudah berusaha semaksimal mungkin. Mengeliminasi sebanyak mungkin faktor yang dapat menyebabkan kegagalan itu sendiri.

Pada suatu masa menjelang UTBK, saya pernah merasa amat tertekan dengan progres belajar yang kurang signifikan. Nilai tryout saya menurun apabila dibandingkan dengan nilai teman-teman saya yang sedang meroket-roketnya.

Saat itu, salah satu guru di bimbel saya bertanya, “Pernah mendengar tentang growth mindset dan fixed mindset?” Saya pun saat itu berkata tidak. Beliau kemudian melanjutkan percakapan kami berdua dengan rentetan kalimat panjang yang membuat saya kembali merenungi segala ketidakpercayaan diri yang tumbuh di dalam diri saya.

“Banyak orang akan menyalahkan keluar karena pandemi Covid-19, kebijakan UTBK yang berubah, dll. yang diluar kendalinya.”

“Padahal sesuatu yg di luar kendali , kan, dialami oleh semua orang.”

“Fokus pada apa yang ada dalam kendali kita. Ya.. Diri kita sendiri.”

“Salah satu coach saya pakai istilah chicken mindset. Semua hal yang melindungi zona nyaman kita, semua hal yang menghalangi kemajuan kita,harus dibuang jauh-jauh. Kalau dia chicken, harus digoreng/dipanggang.”

“Selamat menentukan pilihan dan selamat menggoreng semua chicken di dalam diri.”

Nggak ada penghalang terbesar yang menghalangi kesuksesan kita, selain diri kita sendiri.”

“Ambil tanggung jawab, ambil kesempatan.”

Rentetan kalimat ini selalu saya ingat hingga detik ini saya “menginjakkan” kaki di Universitas Gadjah Mada sebagai salah satu mahasiswanya. Beberapa kalimat ini adalah salah satu motivasi terbesar yang membuat saya bisa ada di titik ini. Berkembang atas tekanan bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Namun, kali ini, saya akhirnya bisa membuktikan bahwa saya berhasil mengubah tekanan menjadi hasil yang baik.

--

--