Untuk Papi yang Galak

Valerie
3 min read4 days ago

--

Eulogi untuk papi yang terlambat ditulis. Ditulisnya hari ini, soalnya kangen supernya hari ini. (Play My Way — Frank Sinatra while reading this)

Semasa hidup, papi selalu pengen dibilang galak. Saya ingat dulu papi seringkali nanya, “Papi galak ya?”. Pengennya dijawab “iya”, (dan selalu saya jawab iya… biar seneng aja). Padahal mah enggak.

Katanya sendiri, papi orang yang disiplin dan tegas. Tapi pernah ia angkat kemoceng dan ikat pinggang? Enggak juga.

Waktu kecil, saya dimanja. Dipanggil si kecil, si cewek, dedek. Setiap minggu, saya suka nginap di kamar papi mami. Bermodalkan kasur lipat, saya bikin kemah-kemahan dengan terpal kain noni dan selimut yang diikat di pintu lemari dan speaker tinggi. Kami kolokan dengan bantal susunan khusus (hanya papi yang bisa susun seenak itu) sambil menonton film action, terkadang ditambah dengan chiropractic maknyus ala papi yang bunyinya kretek-kretek itu.

Kasih sayang papi untuk saya ada banyak, tetapi susah dimengerti. Tidak dengan embel-embel “Papi sayang dedek” pastinya, karena itu terlalu kebarat-baratan untuk keluarga kami. Dulu saya susah paham, jadi seringkali suka mikir papi enggak sayang saya.

Sekarang, saya akhirnya tahu bahwa…

Kasih sayang papi adalah menghabiskan masa mudanya menjadi kuli panggul di pasar.

Kasih sayang papi adalah menjadi pedagang pintu yang dulunya dagang sound system. (enggak nyambung tapi apapun dilakukan untuk keluarganya)

Kasih sayang papi adalah dengan isi kartu Flazz 500 ribu dan BCA platinum untuk saya yang masih kelas 6 SD.

Kasih sayang papi adalah pasang muka merengut minta dipeluk dan kelon-kelonan. Bahkan sampai saya gede masih begini :D

Kasih sayang papi adalah ke Timezone, main claw machine yang super besar itu, dan koleksi boneka untuk kami.

Kasih sayang papi adalah banyak, susah dimengerti, tetapi sangat berarti.

Betapa banyak memori saya tentang papi, yang hanya bisa saya putar terus-menerus sampai akhirnya lupa. Saya takut lupa.

Lupa suara papi, lupa muka papi, cara jalannya, merengut dan senyum lebarnya. Saya takut lupa.

Hari ini 270 hari papi tidak ada. Masih banyak lagi hari tanpa papi yang harus saya lalui. Yang mana dari banyak tujuan, masih saya impikan bisa membuatnya bangga.

Ingin saya bayangkan papi bisa melihat saya lulus kuliah. Katanya papi janji, kan, mau lihat si cewek wisuda?

Ingin saya bayangkan papi bisa tersenyum bahagia melihat saya diterima kerja di luar negeri.

Ingin sekali saya bayangkan betapa senangnya dia sampai tersenyum sangat lebar dan manis ketika saya memberikannya amplop gaji pertama saya.

Ingin sekali nanti papi bisa melihat saya menikah.

Ingin sekali papi menjadi bagian dari hidup saya hingga tua nanti.

Betapa ingin sekali saya melihat papi sekali lagi, memberikannya kebahagiaan dan rasa bangga.

Karena perjuangannya menghidupi kami merupakan perjuangan yang tidak tergantikan. Maka dari itu, seberapa besar pun rasa sayang kami terhadapnya tidak akan menggantikan peluh keringat yang turun dari dirinya yang selalu menomorsatukan anak-anaknya.

Surga buat papi. Alam bahagia buat papi. Hanya itu yang bisa saya syukuri atas meninggalnya papi. Betapa inginnya saya membayangkan kehidupan papi di sana yang terlepas dari penderitaan dan belenggu. Sebab saya yakin atas semua perjuangan dan kebaikannya, papi berhak atas surga yang bahagia.

Dunia ini terselubung kegelapan, dan hanya sedikit orang yang mampu melihat dengan jelas. Bagaikan burung-burung kena jerat, hanya sedikit yang mampu melepaskan diri. Demikian pula hanya sedikit orang yang dapat pergi ke alam surga. — Dhammapada 174

--

--